Kamis, 19 Juni 2014

~ KISAH SEORANG NENEK MENCURI SINGKONG KARENA KELAPARAN , DAN HAKIM MENANGIS SAAT MENJATUHKAN VONIS



~
 KISAH SEORANG NENEK MENCURI SINGKONG KARENA KELAPARAN , DAN HAKIM MENANGIS SAAT MENJATUHKAN VONIS
silahkan dibaca bagus banget untuk renungan.
Diruang sidang pengadilan, hakim Marzuki duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yang dituduh mencuri singkong, nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, cucunya kelaparan ...
Namun manajer PT X** ( Y ** grup ) tetap pada tuntutannya, agar menjadi contoh bagi warga lainnya.
Hakim Marzuki menghela nafas., dia memutus diluar tuntutan jaksa PU, 'maafkan saya', katanya sambil memandang nenek itu,.
Saya tidak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum. saya mendenda anda 1jt rupiah dan jika anda tidak mampu membayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU'.
Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam, sementara hakim Marzuki mencopot topi , membuka dompetnya kemudian mengambil & memasukkan uang sejumlah 1jt rupiah ke dalam topi tersebut dan berkata kepada hadirin...
"Saya atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir diruang sidang ini sebesar 50rb rupiah, sebab menetap dikota ini, yang membiarkan seseorg kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya....
" Sdr panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa ."
Sampai palu diketuk dan hakim Marzuki meninggaikan ruang sidang, nenek itupun pergi dengan mengantongi uang 3,5jt rupiah...
Termasuk uang 50rb yg dibayarkan oleh manajer PT X *** yang tersipu malu karena telah menuntutnya.
Sungguh sayang kisahnya luput dari pers.
Kisah ini sungguh menarik sekiranya ada teman yang bisa mendapatkan dokumentasi kisah ini bisa di share di media untuk jadi contoh kepada aparat penegak hukum lain agar bekerja menggunakan hati nurani dan mencontoh hakim Marzuki yang berhati mulia.
Semoga dapat menjadikan teladan bagi kita semua.

Wujudkan Pemerintahan Bebas Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN), Pemprov Papua Terapkan Pakta Integritas



Dipublikasikan oleh Ad Batlax pada hari Sabtu, 22 Juni 2013 | pukul 13.05 WIT

Posted: 22 Jun 2013 12:22 AM PDT

KOTA JAYAPURA - Guna mewujudkan pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KNN) di lingkungan Pemerintahan Provinsi Papua, Kabupaten/Kota se-Provinsi Papua, maka sangat penting diterapkannya pakta integritas dan wajib dilaksanakan oleh setiap lembaga dan pemerintah daerah.

Gubernur Papua, Lukas Enemen, SIP,MH, menandaskan, sebagaimana diketahui pada 29 Mei 2012 seluruh pimpinan SKPD di lingkungan pemerintah Provinsi Papua, Bupati/Walikota se-Papua telah menandatangani pakta integritas yang merupakan salah satu syarat menuju pembangunan zona integritas.

"Melalui penerapan 20 kegiatan pencegahan korupsi yang nyata dan terukur sesuai Permenpan, syarat-syarat ini harus kita penuhi secara sungguh-sungguh dalam mewujudkan birokrasi yang bersih di lingkungan provinsi, kabupaten dan Kota," tegasnya dalam sambutannya yang dibacakan oleh Asisten III Bidang Umum Sekda Provinsi Papua Waryoto pada pembukaan sosialisasi peraturan menteri pendayagunaan aparatur Negara dan reformasi birokrasi No 49 Tahun 2011 tentang pedoman umum pakta integritas di lingkungan kementerian/lembaga  dan waskat SKPD di lingkungan pemerintah provinsi dan kabupaten/Kota, di Sasana Karya Kantor Gubernur Provinsi Papua, Jumat (21/06/2013).

Dijelaskannya, sebagai tindaklanjuti dari pakta integritas pembangunan zona integritas di lingkungan pemerintah daerah merupakan bagian dari upaya percepatan reformasi birokrasi dan pelayanan publik untuk itu perlu dilakukan sosialisasi dalam upaya penerapan program tersebut secara konsisten.

Untuk itu Gubenrur berharap dengan adanya penandatanganan dokumen pakta integritas segera diikuti dengan penerapan yang dimulai dengan pencanangan unit kerja di lingkungan pemerintah provinsi, kabupaten/Kota akan dibina menjadi zona integritas.

Lanjutnya, pengembangan unit kerja sebagai wujud penerapan upaya konkrit dalam pencegahan  dan pemberantasan  korupsi melalui peningkatan kualitas kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) dalam rangka penguatan komitmen anti korupsi. Dalam proses pembangunan zona integritas ini, inspektorat provinsi, Kabupaten/kota berperan  sebagai unit penggerak integritas  melalui kegiatan asistensi dan konsultasi terhadap unit kerja yang akan dibina menjadi zona integritas.

"Saya harapkan sosialisasi Permen PAN dan RB No 49 Tahun 2011 ini dapat menjadi awal terwujudnya  wilayah bebas dari korupsi di lingkungan pemerintahan provinsi, kabupaten/Kota se-Papua saat ini maupun kedepannya," pungkasnya.

Sekadar diketahui kegiatan sosialisasi tersebut hanya dilaksanakan dalam sehari, dan juga ditutup oleh Asisten III Bidang Umum Sekda Provinsi Papua Waryoto.[BintangPapua| BintangPapua]
dari www.papua.us

Pengurus Obor Rakyat tak penuhi panggilan polisi Kamis, 19 Juni 2014 19:18 WIB | 2288 Views

Pengurus Obor Rakyat tak penuhi panggilan polisi
 Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Ronny F Sompie. (ANTARA FOTO/Reno Esnir)


JAKARTA(KCP) - Pengurus Tabloid Obor Rakyat Setyardi Budiono tidak memenuhi panggilan polisi untuk diperiksa sebagai saksi terlapor terkait laporan tim advokasi Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla kepada Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Jakarta, Kamis.

"Dia tidak jadi datang karena alasannya baru menerima surat pemanggilan hari ini," kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Polisi Ronny F Sompie di Mabes Polri, Jakarta, Kamis.

Ronny mengatakan pihak terlapor yang pernah bekerja di Majalah Tempo dan dipecat itu, baru saja pulang dari perjalanan menggunakan masa cuti kerjanya.

Penyidik Bareskrim menjadwalkan pemanggilan kedua Setyardi pada Senin (23/6) untuk diperiksa sebagai saksi terlapor.

Pengurus lainnya yang dilaporkan sebagai pendiri Tabloid Obor Rakyat Darmawan Sepriyosa tetap akan diperiksa pada Jumat (20/6).

Setyardi merupakan Pemimpin Redaksi Tabloid Obor Rakyat yang telah terbit dua edisi dan beredar di sejumlah pondok pesantren serta masjid di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada masa kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Edisi pertama tabloid Obor Rakyat mengangkat tema bertajuk Capres Boneka, sedangkan edisi kedua bertemakan 1001 Topeng Pencitraan. Isi tabloid berupa isu yang menyinggung persoalan suku, agama, dan ras, serta isu lainnya yang ditujukan pada Calon Presiden Joko Widodo.

Tim advokasi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla melaporkan Setyardi dan Darmawan terkait dengan dugaan pelanggaran Pasal 310 KUHP tentang Fitnah dan Pasal 311 KUHP tentang Pencemaran Nama Baik ke Mabes Polri pada Senin (16/6)

KPK geledah Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Kamis, 19 Juni 2014 18:40 WIB | 2192 Views

KPK geledah Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal


Jakarta (KCP) - Hari ini Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, di Jakarta, atas kasus dugaan korupsi penerimaan suap terkait pengurusan proyek tanggul laut.

"Ada penggeledah di Kementerian PDT (Pembangunan Daerah Tertinggal)," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, Jakarta, tentang pengeledahan di kantor di Jalan Abdul Muis Nomor 7, Jakarta Pusat, itu. 

"Ruang yang digeledah berada di lantai 2, 4, dan ruang Deputi 1," kata Budi. Deputi 1 Kementerian PDT membawahi Bidang Pengembangan Sumber Daya.

Budi menyatakan, ruang kerja Menteri PDT, Helmy Faishal, tidak digeledah. 
"Penggeledahan dimulai sejak pukul 10.00 WIB dan masih berlangsung," jelas Budi.

Ruangan-ruangan tersebut sebelumnya sudah disegel sejak Selasa dini hari (17/6) menyusul penangkapan Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk, dan Direktur PT Papua Indah Perkasa, Teddy Renyut, pada Senin (16/6).

Sombuk diduga menerima suap sebesar 100.000 dolar Singapura untuk pengurusan proyek tanggul laut dari Renyut.

Ahok: Kenapa Mesti Ada Agama dalam KTP? Kamis, 19 Juni 2014 | 13:11 WIB

JAKARTA,KCP — Basuki Tjahaja Purnama menyatakan setuju dengan rencana calon presiden Joko Widodo yang hendak menghapuskan kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP). Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta itu menilai, sudah seharusnya kolom agama dihapus dari KTP karena beragama adalah urusan masing-masing. 

"Dari dulu saya tidak mau ada kolom agama di KTP. Saya sudah bilang saat di DPR, kenapa mesti ada agama dalam KTP? Untuk apa? Saya mau tahu agama kamu untuk apa? Sama-sama Kristen saja Alkitabnya Kristen, saya dengan Advent berbeda. Sementara itu, yang diakui hanya Kristen Protestan," ujarnya di Balaikota Jakarta, Kamis (19/6/2014). 

Menurut pria yang akrab disapa Ahok itu, kolom agama di KTP hanya membuat masyarakat terbagi atas kaum mayoritas dan minoritas, dan ia menilai hal tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila. 

"Coba baca UUD 1945 bagaimana pandangan Soekarno terhadap sebuah agama. Yang Kristen ikut Nabi Isa, yang Islam ikut Nabi Muhammad. Tergantung pengikut masing-masing. Tidak mengenal mayoritas dan minoritas," ujar pria asal Belitung itu. 

Sebelumnya, anggota tim pemenangan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla, Musda Mulia, mengatakan, pihaknya menjanjikan penghapusan kolom agama pada KTP jika pasangan ini terpilih. Sebab, keterangan agama pada kartu identitas dinilai justru disalahgunakan. 

Dalam sejumlah diskusi dengan Jokowi, ia mengatakan, capres itu menyetujui penilaian bahwa kolom agama dalam KTP lebih banyak memberi kerugian bagi warga. Menurut Musda, kolom agama di KTP dapat disalahgunakan, antara lain ketika konflik terjadi di suatu daerah. 

Dengan menghapus kolom agama, hal ini, menurut dia, dapat meminimalkan aksi penyisiran terkait agama yang kemudian dijadikan dasar oleh warga lain untuk melawan warga yang berlawanan dengannya. Adapun informasi agama yang dianut penduduk cukup dicatat dalam pusat data kependudukan pemerintah saja. 

"Contoh lain lagi, kalau melamar pekerjaan, karena agama di KTP pelamar tidak sama dengan agama bosnya, maka tidak akan diterima. Itu diskriminasi," kata Musda.

AHOK Gubernur Jakarta Pusat Bicara Kurang Sopan terhadap Siswa SD akhirnya di tegur Kamis, 19 Juni 2014 | 12:57 WIB



JAKARTA, KCP — Meski baru kelas I SD, siswa-siswa SD Gemala Ananda, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tak sungkan mengoreksi ucapan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Beberapa kali ucapan Basuki ditegur oleh bocah SD itu, juga oleh guru mereka.

Basuki yang kerap bicara tanpa dipikir tersebut kerap keceplosan memilih kosakata yang kurang tepat di depan anak-anak SD ini. Hal ini terjadi misalnya saat Nazwa, salah seorang siswa, bertanya mengenai penebangan pohon yang marak di Jakarta. Menebang pohon itu, lanjut Nazwa, dapat menyebabkan udara Jakarta semakin panas dan mudah terkena banjir.

"Memang banyak penjahat yang mencuri pohon, dia potong pohonnya dan dijual untuk mencari duit, kurang ajar itu penjahatnya," kata Basuki di hadapan puluhan siswa SD, di Balai Agung, Balaikota Jakarta, Kamis (19/6/2014).

Mendengar itu, salah seorang guru langsung mengingatkan Basuki kalau ia berbicara di hadapan siswa SD. Basuki pun meralat pernyataannya.

"Eh, enggak baik itu. Jangan semua kata-kata Bapak didengerinya. Yang harus didengerin itu nasihat bapak-ibu guru dan mama-papanya," kata Basuki tertawa.

Selain Nazwa, salah seorang siswa lainnya juga bertanya kepada Basuki.

"Pak Ahok, kenapa banyak spanduk dan poster caleg di jalan? Mukanya Pak Jokowi juga banyak," tanya siswa tersebut.

Mendengar itu, Basuki dan semua peserta di Balai Agung tertawa.

"Yang suka pasang spanduk itu orang tua yang perbuatannya kurang baik, mereka kurang kerjaan. Nanti, kalau kita ketemu orangnya, dimarahi sama dipukul saja, ya," kata Basuki.

"Jangan dimarahi, Pak, dinasihati," kata siswa itu.

"Eh... iya, ditegur dan diingatkan. Maaf ya, aduh kayaknya aku mesti masuk kelas I lagi nih," seloroh Basuki sambil tertawa.

Keberatan Anas Urbaningrum ditolak Sumber detius yoman

Keberatan Anas Urbaningrum ditolakJakarta Terdakwa kasus dugaan penerimaan hadiah atau gratifikasi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional Hambalang, Anas Urbaningrum, berbincang dengan penasehat hukumnya usai sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Kamis (12/6). Sidang tersebut mengagendakan tanggapan Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi Anas. (ANTARA FOTO/Fanny Octavianus)


(KCP) - Eksepsi alias keberatan Anas Urbaningrum, sang bekas ketua umum DPP Partai Demokrat itu, ditolak majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi.


Dia tengah diadili perkara dugaan tindak pidana korupsi menerima komisi dari proyek-proyek pemerintah dan tindak pidana pencucian uang.

Ketua majelis hakim, Haswandi, dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, Kamis, menyatakan eksepsi itu ditolak dan sidang tetap dilanjutkan.

Terdakwa diduga menerima komisi 7-20 persen dari Permai Grup dari proyek-proyek APBN berupa satu mobil Toyota Harrier (Rp670 juta), satu mobil Toyota Vellfire (Rp735 juta), survei pemenangan Rp478,6 juta dan uang Rp116,52 miliar, dan 5,26 juta dolar Amerika Serikat dari berbagai proyek.

Dakwaan kedua, Urbaningrum juga diduga menyamarkan harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar yaitu terdiri penyamaran harta kekayaan hingga Rp20,88 miliar untuk pembelian sebidang tanah dan bangunan saat menjabat sebagai anggota DPR pada periode 2009-2010.

Dakwaan ketiga, dia diduga menyamarkan harta kekayaan melalui PT Arina Kota Jaya seluas 5.000-10.000 Hektare, di Kecamantan Bengalon dan Kecamatan Kongbeng Kabupaten Kutai Timur. 

Namun putusan untuk menolak eksepsi tersebut diwarnai perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari dua anggota majelis hakim yaitu hakim anggota, Slamet Subaygo dan Joko Subagyo.
Editor: Ade Marboe

KORAN CENDRAWASIH PAPUA KORAN BULANAN LEVEL NASIONAL


LOGO KOMITE NASIONAL PEMUDA PANCASILA ANTI KORUPSI PAPUA ( KONPAPK)



Add caption





OTONOMI DAERAH PROVINSI PAPUA


Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Tampilan Otonomi Daerah yang begitu paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan politik kekuasaan dalam penyusunan Undang-Undang. Pemerintahan Daerah baik UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan diri dari disintegrasi, sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat lokal tidak mendapatkan porsi yang memadai. Penyelenggaraan pemerintah daerah , sesuai dengan UUD 1945, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraaan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide desentralisasi (Imawan, 2005). Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas devolusi dan dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional. Maksudnya, orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan fungsi pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) agar dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat.
Pada hakekatnya, otonomi merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang tidak tergantung pada siapa pun. Dalam bahasa yang lebih politis, dalam konteks hubungan pusat-daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan publik, dan hal-hal lain, dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika kita, yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Dengan berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu, maka sangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masing masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi antar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbukti telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang sama. Motivasi untuk menghindarkan diri dari disintegrasi bukannya tidak penting, namun harus diletakkan dalam bingkai yang lebih strategis dan jangka panjang, yaitu demokratisasi di tingkat lokal yang mensyaratkan adanya kesimbangan peran antara elit politik lokal dengan masyarakat. Masyarakat secara yuridis harus diletakkan sebagai subyek, sebagai sumber hukum dari kebijakan yang akan diambil, sementara Pemerintah dan DPRD sebagai fasilitator untuk mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, relasi yang demikian tidak bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras filosofis dari UU Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis agar relasi yang seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Sumber penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait dengan kelemahan yuridis UU Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. UU Pemerintahan Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah sehingga mereka tidak dapat begitu saja melepas tanggungjawab atas bopengnya wajah Pemerintah Daerah kita.
5.2.   Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.       Bagaimana penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah terhadap sumber daya alam?
2.       Bagaimana penerapan UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah terhadap sumber daya alam?
5.3  Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan permasalahan diatas maka yang menjadi tujuan penulis dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui  UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan SDA.
2. Untuk mengetahui UU No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dalam kaitannya dengan SDA.
5.4  Pengertian Otonomi Daerah
5.4.1  Pengertian UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah memungkinkan pelaksanaan tugas umum Pemerintahan dan tugas Pembangunan berjalan lebih efektif dan efisien serta dapat menjadi sarana perekat Integrasi bangsa. UU No. 22 1999 jauh lebih Desentralistik dibandingkan dengan UU No. 5 1974 namun karena pelaksanaan nya berbarengan dengan pelaksanaan Reformasi yang mengakibatkan efuria-efuria di kalangan masyarakat maka pelaksanaan otonomi daerah dapat juga diwarnai efuria baik dari Kepala daerah maupun dari para anggota DPRD.
Untuk menjamin agar pelaksanaan otonomi daerah benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka segenap lapisan masyarakat baik mahasiswa, LSM, Pers maupun para pengamat harus secara terus menerus memantau kinerja Pemda dengan mitranya DPRD agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan mereka sendiri, transparansi, demokratisasi dan akuntabilitas harus menjadi kunci penyelenggaraan pemerintahan yang baik good government dan Clean government.
Bila semua daerah otonom dapat menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis, maka pemerintah kita secara nasional pada suatu saat nanti entah kapan mungkin juga akan dapat menjadi birokrasi yang bersih dan professional sehingga mampu menjadi negara besar yang diakui dunia. Otonomi daerah sudah berjalan hampir sepuluh tahun, sejak keluarnya UU Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Tapi, dalam kurun waktu tersebut ternyata dinilai berjalan tidak efektif. Sebagai kepala daerah yang sudah memimpin sejak otonomi daerah mulai diterapkan sampai sekarang, sejak UU Nomor 22 tahun 1999 disahkan, tidak ada hubungan hirarki yang jelas antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten dan Kota. Setelah itu, dari tahun 1999 hingga kemudian terbit UU 32 tahun 2004 tentang Pemda, kondisi tidak banyak berubah. Bahkan, kedudukan Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah daerah juga tidak tegas diatur. Di sini Gubernur diberi kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tapi aturan ini hanya semu, dan tidak pula memuat sanksi tegas bagi kabupaten dan kota yang melanggar aturan. Paling gubernur cuma sebatas menegur bupati atau walikota yang melanggar, kalau diindahkan ya bagus, kalau tidak ya jalan terus.
5.4.2  UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Setelah berjalan efektive selama hampir 9 tahun, desentralisasi sebagai titik balik sentralisasi menunujukkan wajah yang plural namun di bawah standar dari tujuan yang hendak dicapai. Korupsi APBD, gaji dan fasilitas yang fantastis, mark up anggaran pengadaan barang dan jasa berhimpitan dengan gizi buruk, anak putus sekolah, bangunan sekolah reot dan roboh, kesejahteraan guru memprihatinkan, kemiskinan dan pengangguran merupakan peristiwa yang mendominasi wajah pemerintah daerah. Entah apakah dalam benak para elit politik daerah tidak memikirkan kaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan perilaku mereka. Mungkin mereka menganggap masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk adalah masalah individu di mana pemerintah hanya bisa membantu kalau bisa. Tampilan Otonomi Daerah yang begitu paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan politik kekuasaan dalam penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah baik UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan diri dari disintegrasi, sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat lokal tidak mendapatkan porsi yang memadai. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbukti telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang sama.
Motivasi untuk menghindarkan diri dari disintegrasi bukannya tidak penting, namun harus diletakkan dalam bingkai yang lebih strategis dan jangka panjang, yaitu demokratisasi di tingkat lokal yang mensyaratkan adanya kesimbangan peran antara elit politik lokal dengan masyarakat. Masyarakat secara yuridis harus diletakkan sebagai subyek, sebagai sumber hukum dari kebijakan yang akan diambil, sementara Pemerintah dan DPRD sebagai fasilitator untuk mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, relasi yang demikian tidak bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras filosofis dari UU Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis agar relasi yang seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Sumber penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait dengan kelemahan yuridis UU Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. UU Pemerintahan Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah sehingga mereka tidak dapat begitu saja melepas tanggungjawab atas bopengnya wajah Pemerintah Daerah kita.
Tuntutan kelompok-kelompok masyarakat di daerah tidak lepas dari usaha memperbaiki kelemahan UU Pemerintah Daerah, Padahal secara teroritik maksud dan tujuan Otonomi Daerah adalah mendekatkan satuan-satuan pengambil kebijakan dengan masyarakat sehingga antara masyarakat dengan pengambil kebijakan terjadi saling interaksi untuk merumuskan kebutuhan dan kepentingan bersama dalam pengambilan kebijakan. Demikian pula dalam hal pelayanan publik, UU Pemerintahan Daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik karena jalur birokrasi akan terpotong sampai di tingkat daerah, sehingga masyarakat cukup berinteraksi dengan Pemerintah Daerah tidak perlu Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pelayanan.Akan Tetapi, maksud dan tujuan yang sering diwacanakan dalam konteks teori tersebut belum pernah hadir dalam kenyataan, yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat, APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik ramai-ramai jadi bancakan untuk dikorupsi, fasilitas untuk para pejabat dipilih yang paling mewah, Kepala Daerah dan DPRD bekerjasama menggelembungkan pendapatan (PP 109 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah menjadi pedoman besaran prosentase pendapatan DPRD seperti yang diatur dalam PP 24 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, sehingga kalau DPRD ingin menaikkan pendapatan harus terlebih dahulu menaikkan pendapatan Kepala Daerah), jalan-jalan berkedok perjalanan dinas, sementara disisi yang lain kita saksikan rakyat mengalami penderitaan yang luar biasa.
UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya merupakan perbaikan atas kelemahan-kelemahan UU 22 tahun 1999, namun justru UU 32 tahun 2004 dibuat dalam kondisi ketergesa-gesaan, dalam momentum Pilpres langsung yang perhatian sebagian besar masyarakat tertuju dan tidak melibatkan stake holder daerah (top down), terkesan UU 32 tahun 2004 hanya ingin memasukkan ketentuan tentang Pilkada Langsung dalam bingkai Otonomi Daerah karena tekanan publik yang sangat kuat (Ketentuan ini menjadi polemik tentang apakah Pilkada Langsung masuk rezim Pemilu atau tidak), UU 32 tahun 2004 tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah misalnya penggunaan kekuasaan secara oligarkhis yang berujung pada penyimpangan APBD, pelayanan publik yang mahal, peraturan daerah yang membebani masyarakat dan dunia usaha.
Dalam rangka memperkuat penerapan Otonomi Daerah sistem perwakilan kita telah diubah dari sistem satu kamar (Unikameral) menjadi sistem dua kamar (bicameral) terdiri dari DPR sebagai representasi jumlah warga negara dan DPD sebagai representasi wilayah (teritori). DPD punya peran memperjuangkan kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional, meskipun belum strong bicameralisme namun DPD sebagai representasi daerah mempunyai legitimasi politik yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga amat tepat bila DPD mempelopori revisi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan proses yang buttom up belajar dari proses yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah yang top down sehingga tidak mampu menjawab persoalan namun menimbulkan persoalan baru. Harapan atas perbaikan kondisi daerah sebagiannya diatas pundak DPD apakah DPD akan melakukan itu atau adanya sama dengan tidak adanya untuk tidak mengatakan “sia-sia” saja.
5.5  Dampak Otonomi Daerah Pada SDA
Penyelenggaraan pemerintah daerah , sesuai dengan UUD 1945, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraaan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Otonomi daerah merupakan realisasi dari ide desentralisasi (Imawan, 2005). Daerah otonom merupakan wujud nyata dan dianutnya asas devolusi dan dekonsentrasi sebagai makna dari desentralisasi sendiri. Dalam konteks ini, otonomi harus dipahami secara fungsional. Maksudnya, orientasi otonomi seharusnya pada upaya pemaksimalan fungsi pemerintahan (pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan) agar dapat dilakukan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat.
Pada hakekatnya, otonomi merupakan wujud nyata desentralisasi. Dalam bahasa yang sederhana otonomi adalah suatu keadaan yang tidak tergantung pada siapa pun. Dalam bahasa yang lebih politis, dalam konteks hubungan pusat-daerah, otonomi merupakan sebuah kewenangan yang dimiliki oleh daerah untuk mengatur sistem administrasi birokrasi, keuangan, kebijakan publik, dan hal-hal lain, dalam batasan-batasan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
Penerapan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika kita, yang terdiri dari ribuan pulau, ratusan kultur dan subkultur yang menyebar di seluruh nusantara. Dengan berdasarkan pada variasi lokalitas yang sangat beragam itu, maka sangat tepat untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini akan memberi peluang seluas luasnya bagi tiap daerah untuk berkembang sesuai potensi alam dan sumber daya manusia yang ada di masing masing daerah dan kemudian akan menciptakan suasana kompetisi antar daerah dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Sumber daya alam menurut Undang-undang 32 tahun 2009, Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. Pasal 10 UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Dalam penguasaan SDA yang ada di Kaltim, prinsip otonomi yang seluas-luasnya memberi konseweksi pada perubahan dalam pengelolaan SDA di daerah. Sebagai contoh di Kaltim untuk bidang pertambangan. Untuk izin IUP Kaltim sampai tahun 2011 mencapai 1275, tidak termasuk ijin HPH, Perkebunan dan lain-lain. Dampak yang dirasakan, secara postif dengan adanya peningkatan PAD, Terbukanya kawasan, investasi, tenagakerja, Namun penguasaan SDA di Kaltim, sejak diberlakukan UU No.22 Tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004, telah membawa dampak negative terhadap lingkungan hidup, ekspoiltasi SDA sekarang telah melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan. Eksploitasi ini membawa pada kerusakan dan menurunnya kualitas lingkungan hidup di Kaltim. Penguasaan SDA juga bermasalah terhadap bagi hasil pada daerah Propinsi Kaltim terhadap peimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Hal lain yang membuat penguasaan SDA hancur, karena pimpin didaerah, berlaku sebagai raja-raja kecil didaerah yang punyi otoritas kekuasan dan kewenangan untuk melakukan perubahan dalam membuat kebijakan yang berhubungan dengan SDA.  Kesempatan inilah yang dibuat untuk mengubah semua kebijakan dalam pengelolaan SDA, sehingga pada akhirnya SDA dijual murah, tanpa perlindungan lingkungan dan mengabaikan kepentingan masyarakat setempat. Dengan prinsip otonomi yang dimiliki kepala daerah, banyak melakukan kebijakan dan izin-izin baru dalam pengelolaan SDA yang tidak berbasis, penataan ruang, tata kelola SDA, lingkungan hidup. Kebanyakan kebijakan berorintasi pada kepentingan sesaat, selagi menjabat, dan mengespoiltasi apapun dengan cepat, tanpa memikir dampak yang timbulkan untuk generasi yang akan datang.
Dalam kajian legal spirit desentralisasi dalam penguasaan negara atas sumber daya alam pasca UU Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah menjadi pintu awal dimulainya suatu usaha untuk membangun daerahnya dengan memanfaatkan potensi daerah berupa SDA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
Pada hakekatnya otonomi daerah yang ingin dibangun merupakan upaya untuk mendekatkan sistem pengelolaan sumber alam pada masyarakat di daerah, agar masyarakat yang bersangkutan dapat merasakan manfaat ekonomi dari eskploitasi sumber daya alam yang didaerahnya. Demikian juga pengalaman dari penguasaan sumber daya alam yang sentralistik di masa lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah yang lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang besar dan investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri dengan menggunkan teknologi maju justru menimbulkan kerusakan dan kehancuran lingkungan yang tidak terkendali dan konflik pada tataran masyarakat. Secara konseptual subtansansi perundang-undangan yang berkaitan dengan hubungan hukum penguasaan sumber daya alam, ini tidak sesuai lagi dengan tujuan awalnya, hal ini karena ketentuan yang terdapat didalamnya telah memberikan kekuasaaan yang sangat besar kepada pemerintah daeraj untuk mengatur dan mengurus segala sesutu yang berkaitan dengaan sumber daya alam, sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh daerah lambat alut menegasikan keberadaan masyarakat dan yang ada kepentingan modal yang didahulu, bukan kepentingan rakyat atau masyarakat sekitar sumber daya alam.
5.6  Tinjauan Kritis Undang-undang Otonomi Daerah
Sebagai sumber hukum tertinggi dalam melakukan pengelolaan dan pengusahaan  terhadap sumber daya alam (SDA) di Indonesia adalah Pasal 33  Ayat (3) UUD 1945.Di dalam pasal tersebut diirumuskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Otonomi daerah telah memberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonomi dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan adanya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi, peraturan ini pada pokoknya memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta dengan memperhatikan potensi keanekaragaman daerah. Realita menunjukkan pembangunan didaerah dihadapkan    pada permasalahan pokok. Meningkatnya kegiatan ekonomi menyebabkan banyaknya permintaan barang dan jasa, terutama yang disediakan alam dan memberi dampak negatif pada ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan. Kecenderungan ini tercermin dari meningkatnya kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam. Hal ini berpengaruh pada penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam, dan lingkungan hidup yang pada akhirnya akan menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan rakyat.
Berbagai pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pembangunan yang berorientasi pada aspek ekonomi tanpa pendekatan pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan dan sosial ternyata hanya memberikan manfaat dalam jangka pendek. Pesatnya peningkatan pertumbuhan populasi, teknologi dan disisi lain semakin terbatasnya sumberdaya dan rendahnya mutu lingkungan dituntut adanya pola pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa lingkungan yang dalam jangkan panjang dapat menjamin pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Sebagaimana lazimnya setiap pemerintah daerah berusaha sedapat mungkin mengembangkan potensi yang ada untuk menunjang biaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu masyarakat dan bangsa bersama pemerintah untuk mengubah suatu keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik dengan cara melakukan proses pengolahan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi untuk memenuhi masyarakat yang semakin kompleks dan terus berkembang yang disebabkan oleh laju pertambahan penduduk. Keadaan ini akan membawa dampak negatif jika tidak ditata sejak dini  dengan melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh daerah-daerah perkotaan di Indonesia. Melihat kecenderungan perkembangan dan tantangan pembangunan daerah-daerah perkotaan dimasa yang akan datang, perlu juga diperhatikan agar pembangunan dilakukan dan dipersiapkan sedini mungkin, salah satu kebijakan yang dapat dioperasikan adalah meningkatkan dan memantapkan peran pemerintah daerah sebagai fasilitator untuk mendorong peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan dipedesaan, dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi peran serta masyarakat, sehingga mutu atau kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat diwujudkan. Seperti kita ketahui  bahwa kondisi umum yang ada selama ini, konsep pembangunan berkelanjutan  diletakkan hanyalah sebagai kebijaksanaan saja. Namun, didalam pengalaman prakteknya, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam.   Kekuatiran ini juga didukung oleh Santoso, dimana dalam pengamatannya  ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kekuatiran munculnya pembangunan yang eksploitatif di era otonomi daerah, diantaranya :
1.      tidak adanya perubahan paradigma pembangunan;
2.      tingkat penataan lingkungan sangat rendah;
3.      Sumberdaya alam masih diperlakukan sebagai asset penopang perolehan PAD.
4.      masih terbatasnya sumberdaya alam manusia yang handal;
5.      tidak adanya strategi. 
                Hal ini timbul karena luasnya ruang lingkup pembangunan daerah terutama dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang belum didukung oleh kesiapan dan kemampuan sumber daya manusia dan aparatur pemerintah daerah  yang memadai serta belum adanya perangkat peraturan bagi pengelolaan sumber daya alam di daerah. Untuk itulah kebijakan dan program pembangunan nasional ditetapkan sesuai dengan amanat konstitusi berdasarkan visi bangsa Indonesia yang ingin dicapai yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung manusia Indonesia yang sehat, mandiri,  beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin. Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dalam proses pembangunan dapat berjalan dengan baik dengan adanya peranserta masyarakat dalam pembangunan amat penting pengaruhnya dalam upaya meningkatkan daya guna pembangunan terkait dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan.
Dalam rangka mewujudkan visi yang dimaksud di atas telah ditetapkan salah satu misi pembangunan ekonomi nasional, yaitu pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju, berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.  Pengelolaan lingkungan dilakukan berdasarkan pengelolaan atas dasar batas sistem ekologi suatu kawasan akan menjadi tidak efektif karena adanya batasan administratif masing-masing daerah otonom. Pembagian batas wilayah pengelolaan yang dipaksakan tersebut memunculkan dilema yang saat ini sedang dihadapi oleh pemerintah kabupaten/kota. Dilema pengelolaan sumber daya alam dalam lingkup satu wilayah administratif relatif lebih kecil dibandingkan pengelolaan sumber daya alam yang lintas batas administratif, bahkan pengelolaan sumber daya alam lintas batas tersebut merupakan salah satu sumber konflik antara beberapa wilayah kabupaten/kota.
Bertitik tolak dari kondisi yang sedang terjadi di atas, perlu segera dirumuskan sebagaimana menyikapi penerapan otonomi daerah dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam baik yang berada dalam batas  administratif satu daerah otonom maupun sumberdaya alam yang lintas batas administratif. Forum dialog merupakan wahana yang tepat untuk menselaraskan  kembali, antara kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan di satu-sisi dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintah kabupaten/kota. Untuk mengatasi berbagai masalah di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, telah ditetapkan salah satu prioritas pembangunan ekonomi nasional, yaitu mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Pembangunan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam bab ini menjadi acuan bagi kegiatan berbagai sektor pembangunan agar tercipta keseimbangan dan kelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup sehingga keberlanjutan pembangunan tetap terjamin. Pola pemanfaatan sumber daya alam seharusnya dapat memberikan akses kepada masyarakat adat dan lokal, bukan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan tertentu. Dengan demikian pola pemanfaatan sumber daya alam harus memberi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat adat dan lokal, serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Peranan pemerintah dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup harus dioptimalkan karena hal ini sangat penting peranannya terutama dalam rangka meningkatkan pendapatan negara melalui mekanisme pajak, retribusi dan bagi hasil yang jelas dan adil, serta perlindungan dari bencana ekologi. Sejalan dengan otonomi daerah, pendelegasian secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya. alam dimaksudkan untuk meningkatkan peranan masyarakat lokal dan tetap terjaganya fungsi lingkungan. Otonomi daerah merupakan potensi utama dalam pengelolaan lingkungan hidup dengan lebih baik, dalam perwujudan pemerintahan yang baik, tuntutan  kualitas sumberdaya manusia sangat diperlukan dalam rangka implementasi  otonomi daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu dengan adanya :
1.      Visi dan orientasi yang menghargai keterbatasan daya dukung lingkungan (pro nature). Visi yang demikian diharapkan mampu memadukan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
2.      Profesional, terbuka, akuntabel. Syarat inin diperlukan dalam menciptakan pemerintahan yang kuat (profesional) tetapi responsif terhadap kepentingan, aspirasi dan tuntutan masyarakat.
3.      Konsisten dan memiliki integritas, hal ini diperlukan dalam penegakan hukum. Penegakan hukum mempersyaratkan lembaga peradilan yang independen dan tidak memihak.
4.      Berpikir dalam kerangka sistem dan holistic (bukan parsial dan ego daerah).
5.      Daya kritis dan partisipatif dari masyarakat. Sebagaimana diketahui, salah satu pendorong penataan lingkungan (environmental complience) adalah adanya tekanan masyarakat. juga merupakan kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Karena itu diperlukan daya kritis dan peran aktif masyarakat dalam penyusunan kebijakan dan implementasi.
Daya kritis tentang lingkungan seharusnya perlu dilarutkan dalam agenda politik, kinerja wakil rakyat dan parpol harus dievaluasi dari aspek lingkungan. Kontrol masyarakat dan penegakan supremasi hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan hal yang penting, yang menyebabkan hak-hak masyarakat untuk menggunakan dan menikmatinya menjadi terbuka dan mengurangi konflik, baik yang bersifat  vertikal maupun horizontal.
Jika         semua  pihak telah melarutkan aspek lingkungan dalam pertimbangan kebijakannya, maka aspek lingkungan akan inheren dalam perilaku sehari-hari. Jika terjadi penyimpangan, akan mendapat teguran dari yang melihatnya. Perilaku yang demikian ini merupakan bagian penting dari self regulation dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kemudian sistem hukum yang baik juga sangat diperlukan dalam pengelolaan lingkungan hidup, dimana hukum lingkungan harus memiliki perspektif berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender, dan pemerintahan yang baik (good governance). Peraturan perundangan yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup harus dapat mengurangi tumpang tindih peraturan penguasaan dan pemanfaatan dalam rangka mewujudkan keselarasan peran antara pusat dan daerah serta antar sektor. Selain itu, peran serta aktif masyarakat dalam memanfaatkan akses dan mengendalikan kontrol terhadap penggunaan sumber daya alam yang terdapat  pada lingkungan hidup harus lebih optimal karena dapat melindungi hak-hak publik dan hak-hak masyarakat adat. Kemiskinan akibat krisis ekonomi disertai melemahnya wibawa  hukum perlu diperhatikan agar kerusakan sumber daya alam tidak makin parah,  termasuk penjarahan terhadap hutan, kawasan konservasi alam dan sebagainya. Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan dibanyak daerah antara lain pencemaran  industri, pembuangan limbah yang, tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dalam memperhatikan permasalahan dan kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup dewasa ini, kebijakan di bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan pada upaya :
a.       Mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup, baik yang dapat diperbaharui maupun tidak dapat diperbaharui melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya; 
b.      Penegakan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup; 
c.       Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup secara bertahap;
d.      Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan lokal; 
e.      Menerapkan secara efektif, penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
f.        Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi bagi di wilayah tertentu; 
g.       Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.
Sasaran yang ingin dicapai adalah terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan keadilan seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal serta meningkatnya kualitas lingkungan hidup sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan, serta terwujudnya keadilan antar generasi, antar dunia usaha dan masyarakat dan antar negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang optimal.  Pembangunan nasional di bidang lingkungan hidup pada dasarnya merupakan upaya untuk mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang Sebagaimana lazimnya setiap pemerintah daerah berusaha sedapat mungkin mengembangkan potensi yang ada untuk menunjang biaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian usaha terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu masyarakat dan bangsa bersama pemerintah untuk mengubah suatu keadaan yang kurang baik menjadi lebih baik dengan cara melakukan proses pengolahan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan memanfaatkan teknologi untuk memenuhi masyarakat yang semakin kompleks dan terus berkembang yang disebabkan oleh laju pertambahan penduduk. Keadaan ini akan membawa dampak negatif jika tidak ditata sejak dini dengan melaksanakan konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh daerah-daerah perkotaan di Indonesia. Melihat kecenderungan perkembangan dan tantangan pembangunan daerah-daerah perkotaan dimasa yang akan datang, perlu juga diperhatikan agar pembangunan dilakukan dan dipersiapkan sedini mungkin, salah satu kebijakan yang dapat dioperasikan adalah meningkatkan dan memantapkan  peran pemerintah daerah sebagai fasilitator untuk mendorong peran swasta dan masyarakat dalam pembangunan dipedesaan, dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi peran serta masyarakat, sehingga mutu atau kualitas pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dapat diwujudkan. Seperti kita ketahui bahwa kondisi umum yang ada selama ini, konsep pembangunan berkelanjutan diletakkan             hanyalah             sebagai kebijaksanaan saja. Namun, didalam pengalaman prakteknya, justru terjadi pengelolaan sumber daya alam yang tidak terkendali dengan akibat kerusakan lingkungan yang mengganggu kelestarian alam. 
 Didalam Pasal 17 (1) Undang-undang 32 tahun 2004 Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.       Kewenangan, tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak, budidaya, dan pelestarian;
b.      Bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya; dan
c.       Penyerasian lingkungan dari tata ruang serta rehabilitasi lahan.
(2) Hubungan dalam bidang pemanfaatan.. sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 2 ayat (4) dan ayat (5) meliputi:
a.       Pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah;
b.      Kerja sama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam. Dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; dan
c.       Pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
(3) Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 18 (1) Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. (2) Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumber daya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (3) Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.       eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut;
b.      pengaturan administratif;
c.       pengaturan tata ruang;
d.      penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah;
e.       ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan
f.        ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Mengenai rumusan di muka tidak pernah ada penjelasan atau kejelasan resmi tentang makna “dikuasai oleh negara” Namun satu hal yang telah disepakati bahwa dikuasai oleh negara tidak sama dengan dimiliki negara. Kesepakatan ini bertalian dengan atau suatu bentuk reaksi dari system atau konsep “domein” yang dipergunakan pada masa kolonial  Hindia Belanda.
                Konsep atau lebih dikenal dengan “asas domein” , mengandung pengertian kepemilikan (ownership). Negara adalah pemilik atas tanah, karena itu memiliki segala wewenang melakukan tindakan yang bersifat kepemilikan (eigensdaad).  
UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Agraria (UUPA) merumuskan makna “hak menguasai negara” sebagai wewenang untuk :
a.       mengatur dan menyelenggarakan perubahan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.      menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.       menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.   
Selanjutnya disebutkan wewenang menguasai tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat  dan pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah dan masyarakat hukum adat.   Dalam penjelasan umum lebih ditegaskan bahwa negara tidak memiliki , melainkan bertindak selaku pemegang kekuasaan. Jadi bersifat publik atau kepemerintahan belaka (bestuursdaad). Yang seringkali dilupakan adalah tujuan dari dikuasai Negara. Baik dalam UUD 1945 maupun UUPA ditegaskan bahwa hak menguasai oleh Negara adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan tujuan tersebut, setidak-tidaknya ada larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar, yaitu :
a. Apabila dengan itikad baik tanah-tanah telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh rakyat, maka kenyataan itu harus dihormati dan dilindungi. Keberadaan rakyat di tanah-tanah tersebut merupakan salah satu penjelmaan dari tujuan kemakmuran rakyat. Rakyat harus mendapat hak didahulukan dari pada occupant baru yang menyalahgunakan formalitas-formalitas hukum yang berlaku;
b. Tanah yang dikuasai Negara tetapi telah dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik (ter geode trouw) hanya dapat dicabut atau diasingkan dari mereka, semata-mata untuk kepentingan umum, yaitu untuk kepentingan sosial dan atau kepentingan Negara;
c. Setiap pencabutan atau pemutusan hubungan hukum atau hubungan konkrit yang diduduki atau dimanfaatkan rakyat dengan itikad baik, harus dijamin tidak akan menurunkan status atau kualitas hidup mereka karena hubungan mereka dengan tanah tersebut.
Berdasarkan logika di atas, maka semestinya makna dikuasai oleh Negara mengandung arti :
1.      Hak (Negara) itu harus dilihat sebagai antitesis dari asas domein yang memberi wewenang kepada Negara untuk melakukan tindakan kepemilikan yang bertentangan dengan asas kepunyaan menurut adat istiadat. Hak kepunyaan didasarkan pada asas komunal dan penguasa hanya sebagai pengatur belaka;
2.      Hak menguasai oleh Negara tidak boleh dilepaskan dari tujuan yaitu demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara harus memberikan hak terdahulu kepada rakyat yang telah secara nyata dan dengan itikad baik memanfaatkan tanah.
Bahan galian tambang merupakan salah satu kekayaan yang terkandung dalam bumi dan dalam air.  Dalam bumi diartikan sebagai dipermukaan atau dibawah bumi. Di dalam air diartikan berada di bawah air yaitu di atas atau di bawah bumi yang berair (sungai, danau, laut , rawa). Bahan galian tambang untuk sebagian didapati di atas permukaan bumi atau bagian permukaan bumi yang berada di bawah air. Oleh karena itu pengertian bahan galian harus diartikan baik yang diperoleh dengan menggali maupun dengan cara-cara mengambil di bagian permukaan bumi termasuk permukaan bumi yang ada di bawah air.

5.7  Kesimpulan
Dari uraian dalam tulisan ini, maka dapatlah diberikan kesimpulan demi menjawab permasalahan, yaitu :
1.      Otonomi daerah telah memberikan kewenangan penuh kepada setiap pemerintah daerah secara proporsional untuk mengembangkan potensi yang ada dalam proses pembangunan yang terencana dengan baik, realistik dan strategik dan bernuansa lingkungan yang dalam jangka panjang dapat menjamin pemanfaatan sumber daya  alam secara berkelanjutan. Oleh karena itu peran pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengelolaan lingkungan hidup sangat diperlukan untuk mengurangi terjadinya dan pemanfaatan sumberdaya alam dengan tetap memperhatikan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan, penghormatan hak-hak asasi manusia, demokrasi, kesetaraan gender dan pemerintah yang baik.
2.      Pelaksanaan kebijakan pengelola lingkungan hidup di Daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang sejalan dalam rangka implementasi otonomi daerah, berbagai kebijakan dan program yang telah dilakukan bertujuan dalam rangka peningkatan pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dengan tetap beracuan kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi sumberdaya alam dan lingkungan serta memberikan kesempatan kepada masyarakat adat dan lokal untuk dapat berperan aktif sehingga pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan di Daerah dapat tetap terjamin.
5.8  Saran-saran
1.      Dalam penerapan otonomi daerah pemerintah daerah diharapkan mengembangkan potensi sumberdaya alam yang ada untuk menunjang pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek pelestarian, kesejahteraan sosial dengan melakukan :
a.         memperluas area hutan kota;
b.      meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam pengurusan izin;
c.      melakukan sosialisasi yang rutin kepada masyarakat dan pelaku usaha dan/atau kegiatan terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.
2.      Diharapkan kepada pemerintah daerah setiap mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan proses pembangunan daerahnya tetap memperhatikan aspek pengelolaan lingkungan hidup dan melibatkan peran serta masyarakat untuk aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup, sehingga secara dini dapat diantisipasi munculnya permasalahan dan resiko lingkungan yang negatif.